Gunung Karang mungkin tak seangker Gunung Anak Krakatau yang berada di
tengah laut perbatasan Pandeglang-Lampung, Provinsi Banten. Ketinggiannya juga
tidak setinggi gunung gunung lain yang ada di Provinsi Jawa Barat, seperti
Gunung Pangrango, Papandayan, Ciremai, Salak, atau Halimun. Tetapi di balik
semuanya ada mitos dan fakta menarik tentang Gunung Karang yang berada di
Kabupaten Pandeglang.
Sebetulnya, Gunung Karang itu merupakan gunung berapi aktif, dan bagaikan raksasa yang sedang terdiam, tertidur di Pandeglang, Provinsi Banten. Ketinggiannya hanya 1.778 mdpl atau meter di atas permukaan laut. Untuk bisa sampai ke puncak gunung itu dari pusat Kota Pandeglang hanya membutuhkan waktu sekitar 3 (tiga) jam dengan berjalan kaki.
Medan yang dilaluinya pun mudah, tidak begitu terjal, namun dibutuhkan kehati-hatian karena jalannnya licin jika musim penghujan. Medan menuju puncak gunung itu sangat teduh, karena kiri-kanan jalan dihiasi pepohohonan rindang dan akar-akar pohon yang cantik seperti hiasan bonsai.
Suasana indah pun dapat dirasakan bagi warga Kota Pandeglang saat menjelang pagi hari. Dari Alun-alun Pandeglang tampak nyata gunung itu terlihat hijau dan sejuk serasa saat melihat lukisan Gunung Karang yang banyak dibuat para pelukis lokal.
Panorama indah akan terasa bagi pendaki gunung. Udara sejuk, angin sepoy-sepoy menyempurnakan kemurnian alam yang dapat dinikmati setiap orang yang menaiki gunung itu.
Pos 1 (Menara)
Sebetulnya, Gunung Karang itu merupakan gunung berapi aktif, dan bagaikan raksasa yang sedang terdiam, tertidur di Pandeglang, Provinsi Banten. Ketinggiannya hanya 1.778 mdpl atau meter di atas permukaan laut. Untuk bisa sampai ke puncak gunung itu dari pusat Kota Pandeglang hanya membutuhkan waktu sekitar 3 (tiga) jam dengan berjalan kaki.
Medan yang dilaluinya pun mudah, tidak begitu terjal, namun dibutuhkan kehati-hatian karena jalannnya licin jika musim penghujan. Medan menuju puncak gunung itu sangat teduh, karena kiri-kanan jalan dihiasi pepohohonan rindang dan akar-akar pohon yang cantik seperti hiasan bonsai.
Suasana indah pun dapat dirasakan bagi warga Kota Pandeglang saat menjelang pagi hari. Dari Alun-alun Pandeglang tampak nyata gunung itu terlihat hijau dan sejuk serasa saat melihat lukisan Gunung Karang yang banyak dibuat para pelukis lokal.
Panorama indah akan terasa bagi pendaki gunung. Udara sejuk, angin sepoy-sepoy menyempurnakan kemurnian alam yang dapat dinikmati setiap orang yang menaiki gunung itu.
Dari atas kaki gunung itu, tampak
jelas terlihat pusat Kota Pandeglang. Bahkan, lapangan alun-alun dan Masjid
Agung Arrohman pun tampak terlihat dari kejauhan saat kita berdiri di kaki
Gunung Karang di Pasir Angin.
Selain ada wisata riligi seperti
sumur tujuh, makam keramat, juga gunung itu merupakan kawasan hutan lindung yang
harus dijaga dan dilestarikan. Namun apa yang terjadi, pemerintah seolah belum
gereget melindungi hutan di gunung itu, sehingga sekarang kondisi hutannya
memprihatinkan. Banyak blok-blok hutan di kaki gunung itu menjadi gundul. Ini
jangan dibiarkan, karena berdampak terhadap longsor dan bencana lainnya. Ada
pepatah orang tua dulu, gunung itu pasaknya bumi. Apabila gunung dirusak, suatu
saat akan mendatangkan bencana bagi manusia itu sendiri. "Saya harap
pemerintah bisa menjaga dan melestarikan gunung itu baik membangun
infrastruktur menuju lokasi wisata itu sampai pada rencana penataan wisata
gunung,"
Pendakian Gunung Karang
Gunung Karang saat ini telah
dilirik oleh banyak orang untuk melakukan kegiatan pendakian, walau gunung ini
terbilang tidak terlalu tinggi namun tantangan dalam menyusuri jalan menuju
puncak menjadi tantangan tersendiri. Pada umumnya jalur pendakian Gunung Karang
yang diketahui ada 2 jalur, yang pertama melewati Desa Kaduengang, yang kedua
Jalur Pagerwatu/Ciekek. Namun apabila melihat pendakian dalam rangka wisata
ziarah, ada jalur lain yaitu Jalur Curug Nangka/Ciomas.
Kaduengang, Jalur Barat
Jalur Kaduengang merupakan jalur
pendakian paling digemari oleh para pendaki karena trek menuju puncak lebih
pendek namun memiliki trek begitu menantang. Di dusun ini juga para pendaki
dapat melihat indahnya gemerlap kota Serang dan Pelabuhan Merak. Waktu tempuh
dari Kaduengang biasanya akan mengahabiskan 2 - 6 jam untuk mencapai Puncak
Sumur Tujuh tergantung kondisi cuacanya. Setelah anda datang ke Dusun
Kaduengang, pendakian dimulai dengan jalan desa yang menanjak, pos 1 ditandai
dengan adanya menara tower dekat rumah salah satu sesepuh yang dapat pendaki minta
untuk memimpin berziarah, karena sebelum melanjutkan pendakian disarankan agar
berziarah terlebih dahulu ke makam Pangeran TB. Jaya Raksa, makam tersebut
berada tepat di sebelah kanan jalur pendakian.
Pos 1 (Menara)
Pos 2 (Hutan 1)
Pos 3 (Tanah Gelap)
Pos 4 (Tanah Petir)
Pos 5 (Hutan 2/Anggrek) akan ada
persimpangan di pos ini, arah kanan menuju Curug Nangka/Ciomas dan arah kiri
menuju Puncak.
Gunung Karang memiliki hutan
hujan tropis, di Jalur Kaduengang ini kawasan hutan terbagi menjadi 2, Hutan 1
dan Hutan 2. Hutan 1 merupakan hutan yang tidak terlalu lebat, letaknya masih
disekitar ladang penduduk. Sedangkan Hutan 2, merupakan kawasan hutann lindung,
dalam hutan ini banyak ditemui tumbuhan anggrek hampir sepanjang jalan, dan juga
di hutan ini sering tertutup kabut tebal, keadaan yang lembab dan dipenuhi
akar-akar pohon besar menghiasi perjalanan ketika memasuki hutan 2 ini.
Pagerwatu/Ciekek, Jalur Selatan
Jalur Pagerwatu/Ciekek tidak
terlalu menjadi favorit bagi para pendaki, walaupun kondisi trek dari jalur ini
cukup lebih landai daripada via Kaduengang namun membutuhkan waktu yang lebih
lama sekitar 7 - 8 jam untuk menuju puncak.
Curug Nangka/Ciomas
Jalur ini sangat tidak populer
bagi para pendaki, karena jalur ini merupakan jalur para peziarah yang akan
menuju Puncak Gunung Karang. jalur ini cukup jauh karena dimulai dari bawah
lereng dan memerlukan waktu sekitar 20 jam - 1 hari perjalanan untuk mencapai
puncak.
Sejak terbentuknya Provinsi
Banten, pemerintah setempat menggalakkan promosi wisata. Dan, Gunung Karang
menjadi salah satu objek wisata yang diharapkan mampu menarik wisatawan dengan
potensi wisata spiritual yang dimilikinya. Sebelumnya, wisata Banten bertumpu
pada kawasan wisata spiritual peninggalan Sultan Banten yang terletak di Banten
Lama, Kabupaten Serang. Di tempat itu, para wisatawan biasanya mengunjungi
Benteng Surosowan, Mesjid Agung, Klenteng Kuno, dan kompleks makam keluarga
Sultan Hasanudin.
Legenda Gunung Karang
Di atas Gunung Karang ini ada
keajaiban alam yang mungkin jarang di temukan di tempat-tempat yang lain. Pada
umumnya sebuah mata air sering kita jumpai di kawasan lereng atau di kaki
sebuah gunung, namun sungguh kuasa Allah Swt di Gunung Karang mata air itu
benar-benar muncul di puncang gunung tersebut. Mata air tersebut muncul menjadi
7 (tujuh) sumber, yang oleh penduduk sekitar disebut dengan nama “sumur tujuh”.
Ada keyakinan yang muncul dalam
masyarakat, bahwa air sumur tujuh mempunyai khasiat yaitu untuk
membersihkan diri dari gangguan energi-energi negative. Caranya adalah dengan
berdoa dan mandi keramas di sumber air tersebut.
Usul punya usul, sejarah sumur
tujuh gunung karang adalah bermula dari pada penaklukan Batara Pucuk Umun oleh
Sultan Banten Maulana Hasanudin. Pada Suatu hari Syarif Hidayatullah yang
terkenal dengan nama Sunan Gunung Jati berucap kepada putranya “Hai Anakku
Hasanuddin, sekarang pergilah engkau dari Cirebon dan carilah negeri yang
penduduknya belum memeluk Islam”. Lalu setelah mendengar titah orang tua
beliau, maka berangkatlah beliau seorang diri ke arah barat.
Setelah setengah perjalanan
beliaupun mendaki gunung Munara yang terletak diantara Bogor dan Jasinga. Dan
beliau bermunajat selama 14 hari meminta kepada Allah SWT supaya mendapat
petunjuk. Dalam munajatnya datanglah sang ayah Sunan Gunung Jati lalu berucap
“Hai anakku Hasanuddin, turunlah engkau dari Gunung Munara dan berjalanlah
engkau ke arah barat ke Gunung Pulosari, yaitu negeri Azar. Negeri Azar adalah
negerinya Pucuk Umun yang dinamai Ratu Azar Domas. Lalu pergilah ke Gunung
Karang yaitu negerinya Azar”. Setelah berbicara ayahanda beliau kembali ke
Cirebon.
Setelah mendapat petunjuk,
akhirnya beliaupun turun gunung dan akhirnya berhenti di negeri Banten Girang
yakni di sungai Dalung. Disana adalah tempat bersemedinya Ki Ajar Jong dan Ki
Ajar Ju, beliau berdua adalah saudara Ratu Pakuan dan Ratu Pajajaran. Ratu
Pakuan dinamai Dewa Ratu dan Ratu Pajajaran dinamai Prabu Siliwangi. Sebelumnya
Ki Ajar Ju dan Ki Ajar Jong telah diberi mimpi bertemu dengan Maulana
Hasanuddin dan kemudian memeluk Islam dalam mimpi mereka berdua. Maka,
sesampainya Maulana Hasanuddin di Banten Girang dan duduk disisi sungai Dalung,
keluarlah Ki Ajar Jong dan Ki Ajar Ju dari dalam Gua tempat pertapaan beliau
berdua, lalu bersalaman dan mencium tangan Maulana Hasanuddin setelah bercerita
akhirnya beliau berdua diajari membaca syahadat oleh Maulana Hasanuddin dan
keduanya bertekad bulat memeluk Islam.
Akhirnya oleh Maulana Hasanuddin
kedua santrinya ini diganti namanya dari Ajar Jong menjadi Mas Jong dan Ajar Ju
diganti menjadi Agus Ju dan Maulana Hasanuddinpun memberikan arahan kapada
keduanya apabila memiliki keturunan maka diharapkan keduanya memberikan ciri
dalam nama keturunan keduanya. Kepada Mas Jong, Maulana Hasanuddin berkata
“Apabila suatu saat kamu mempunyai anak, maka berilah nama anak laki-lakimu
yang tertua dengan tambahan Mas dan yang termuda Entul dan apabila memiliki
anak perempuan berilah nama Nyi Mas”. Dan kepada Agus Ju, Maulana Hasanuddin
berkata “Apabila kelak satu saat kamu mempunyai anak, maka berilah tambahan
pada nama anak laki-lakimu yang tertua Ki Agus dan yang termuda Ki Entul dan
apabila memiliki anak perempuan berilah nama Nyi Ayu”. Demikianlah sejarah
keturunan nyi mas, nyi ayu, entul, ki agus dan mas yang berasal dari keturunan
santri Maulana Hasanuddin ini.
Selanjutnya Mas Jong dan Agus Ju
diperintah oleh Maulana Hasanuddin untuk menaklukkan Ratu Pakuan dan Ratu
Pajajaran, maka berangkatlah Mas Jong dan Agus Ju sesuai titah Maulana
Hasanuddin.
Ditempat berbeda Ratu Pakuan dan
Ratu Pajajaran telah mengetahui akan kedatangan saudara-saudara mereka yang
akan menaklukkan mereka, maka sebelum Mas Jong dan Agus Ju datang, Ratu Pakuan
dan Ratu Pajajaran kabur dari tempat semedi dan berkumpul ke Gunung Pulosari
tempat Pucuk Umun berada. Setibanya ditempat semedinya Ratu Pakuan dan Ratu
Pajajaran, Mas Jong dan Agus Ju-pun tidak mendapati Ratu Pakuan atau Ratu
Pajajaran berada di tempat semedi keduanya, maka Mas Jong dan Agus Ju-pun
kembali ke Banten Girang untuk menemui Maulana Hasanuddin dan melaporkan bahwa
Ratu Pakuan atau Ratu Pajajaran tidak ada dan telah menghilang dari tempat
semedi keduanya. Mendengar laporan dari keduanya tentang keberadaan Ratu Pakuan
atau Ratu Pajajaran yang tidak di ketahui. Maulana Hasanuddin pun berkata
kepada santri beliau ini “Mari kita datangi saja ke Gunung Pulosari, kalian
ikuti langkahku”. Maka keduanyapun mengikuti seperti apa yang disarankan
Maulana Hasanuddin kepada mereka bedua.
Maka berangkatlah mereka bertiga
menuju Gunung Pulosari, Di Gunung Pulosari ditempat Pucuk Umun berada,
Pucuk Umun telah mengetahui bahwa Maulana Hasanuddin dan santrinya
berencana mengislamkan Pucuk Umun dan teman-teman. Maka bermusyawarahlah Pucuk
Umun bersama rekan-rekannya, setelah bermusyawarah Pucuk Umun pun duduk di atas
batu putih tempat bersemedinya di Kandang Kurung yang ditemani oleh Ajar Domas
Kurung Dua.
Maka tibalah Maulana Hasanuddin
ke Kandang Kurung dan menemui Pucuk Umun yang sedang duduk, berkatalah Maulana
Hasanuddin “Hai Pucuk Umun, Saya datang kemari mau menaklukan kamu, sekarang
kamu semua Islamlah, masuklah kamu ke agama Nabi (Muhammad SAW),
berucaplah kalian semua Dua Kalimat (Syahadat)”. Lalu berkatalah Pucuk Umun
“Tuan, Saya belum tunduk ke agama Nabi (Muhammad SAW) dan saya belum takluk
kepada tuan apabila belum kalah dalam tarung kesaktian, sehingga apabila saya
kalah kesaktian maka saya baru takluk kepada tuan”. Mendengar tantangan Pucuk
Umun tersebut, Mualana Hasanuddin-pun berkata “Silahkan engkau pilih tarung
kesaktian apa yang engkau inginkan?”. “baiklah, saya ingin tarung kesaktian
dengan tarung ayam” ujar Pucuk Umun. Akhirnya disetujuilah permintaan Pucuk
Umun tersebut oleh Maulana Hasanuddin, akhirnya mereka-pun mencari arena yang
luas untuk tarung kesaktian, dan didapatilah suatu lahan yang berada di wilayah
Waringinkurung yaitu disuatu kebon yang rata yang disebut Tegal Papak.
Selanjutnya Pucuk Umun dan para
Ajar istidroj dan membuat ayam jago yang terbuat dari besi, baja, dan pamor
yang terbuat dari sari baja dan rosa. Akhirnya jadilah barang-barang tersebut
seekor ayam jago yang memiliki raut mirip jalak rawa. Dilain tempat Maulana
Hasanuddin bermunajat kepada Allah SWT. Memohon pertolongan untuk mengalahkan
dan menaklukkan Pucuk Umun, agar Pucuk Umun dan para Ajarnya memeluk agama Nabi
Muhammad SAW. Dengan kekuasaan Allah SWT. Maka datanglah jin dan atas keinginan
Maulana Hasanuddin berubahlah jin tersebut menjadi seekor ayam jago dan
memiliki raut mirip jalak putih.
Setelah siap maka Maulana Hasanuddin
yang diikuti kedua muridnya Mas Jong dan Agus Ju serta para jin yang membawa
palu yang terbuat dari besi magnet berangkat menuju tempat pertandingan.
akhirnya rombongan Maulana Hasanuddin-pun sampai di Tegal Papak pada hari
Selasa, disana rombongan dan pengikut Pucuk Umun telah berada ditempat menunggu
kedatangan Maulana Hasanuddin. Setelah berjumpa keduanya, maka Pucuk Umun
berkata kepada Maulana Hasanuddin “Tuan, inilah ayam jago saya, apabila kalah
kami sanggup takluk kepada tuan”. “Saya pun demikian, apabila kalah dengan ayam
jago mu, saya akan menghamba kepadamu” balas Maulana Hasanuddin.
Lalu bertarunglah ayam jago Pucuk
Umun dan ayam jago Maulana Hasanuddin, gemuruh senangpun datang dari Pucuk Umun
dan Ajarnya. Serangan ayam jago Pucuk Umun seperti suara guntur, tepuk tangan
dan rasa riang menyelimuti rombongan Pucuk Umun yang meyakini bahwa ayam jago
mereka bakal memenangkan pertarungan. namun meski serangan bertubi-tubi
dilancarkan oleh ayam jago Pucuk Umun kepada ayam jago Maulana Hasanuddin,
ayam jago Maulana Hasanuddin tidak surut dan terus berusaha mengalahkan
ayam jago Pucuk Umun. Disatu waktu akhirnya ayam jago Maulana Hasanuddin mampu
menghancurkan ayam jago Pucuk Umun menjadi debu. Melihat kekalahan ayam jago
Pucuk Umun, gemuruh senang dan tepuk tanganpun berhenti menjadi sepi senyap.
Selanjutnya kembali pulanglah Ajar dan juga ayam jago yang hancur tadi mewujud
seperti asalnya menjadi besi pamor dan baja. Sementara para Ajar Domas masuk
Islam dihadapan Maulana Hasanuddin dan membaca dua kalimat syahadat disaksikan
Maulana Hasanuddin.
Sementara itu, Pucuk Umun yang
telah dikalahkan berkata kepada Maulana Hasanuddin “Tuan, saya belum takluk
kepada tuan karena masih banyak kesaktian saya, apabila telah habis barulah
saya takluk”. mendengar tantangan Pucuk Umun, Maulana Hasanuddinpun membalas
“keluarkan semua kesaktianmu saat ini, saya ingin tahu kemampuanmu”. akhirnya
Pucuk Umun pun terbang dan hilang dari penglihatan Maulana Hasanuddin.
selanjutnya dari balik mega Pucuk Umun memanggil nama Maulana Hasanuddin.
mendengar panggilan Pucuk Umun, Maulana Hasanuddin berkata kepada kedua
santrinya “Hai Mas Jong dan Agus Ju, datangilah Pucuk Umun yang berada di balik
mega dan pukullah sekalian” lalu berangkatlah Mas Jong dan Agus Ju ke atas awan,
saat akan dipukul oleh Mas Jong dan Agus Ju, Pucuk Umun pun menjerit dan
menghilang lagi. Melihat hal demikian, Maulana Hasanuddin berkata kepada kedua
santrinya “Dengan ridho Allah SWT. Pucuk Umun jadilah kafir iblis
laknaktullah, tidak ingin masuk Islam, kamu berdua pulanglah”. maka turunlah
kedua santri tersebut dari langit, setelah berkumpul berangkatlah rombongan
Maulana Hasanuddin, Mas Jong dan Agus Ju yang diikuti juga oleh para Ajar Domas
dari Tegal Papak menuju Gunung Pulosari.
Ada kisah lain, bahwa setelah
pucuk umun dikalahkan dalam adu ayam dengan sultan Hasanudin, pucuk umun
kemudian tidak mau menepati janjinya untuk tunduk dan memeluk agama Islam, akan
tetapi kabur ke gunung karang, kemudian di kejar oleh sultan Hasanudin dan
dalam pegejarannya, sultan Hasanudin beristirahat di sebuah tempat yang
dinamakan Pandohokan (panohokan) yang terletak di Desa Kaduengang.
Alkisah, pengejaran pucuk umun
sampai ke puncak gunung karang dan akhirnya pucuk umun mengaku kalah adu
kesaktian dengan sultan Hasanudin, dan Pucuk Umun juga tetap tidak mau memeluk
agama Islam tetap mempertahankan keyakinan pada ajaran nenek moyang (sunda
wiwitan), akhirnya Pucuk Umun undur pamit setelah mengaku kalah dan kemudian
bermukim di Ujung Kulon sampai akhir hayatnya. Adapun pengikutnya yang loyal,
memutuskan untuk memisahkan diri dari masyarakat Islam. Mereka menetap di Desa
Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Lebak sampai sekarang sebagai satu komunitas
yang melanggengkan ajaran Sunda Wiwitan.
Hikayat munculnya sumur tujuh
tersebut di Gunung Karang merupakan tempat peristirahatan sultan Hasanudin
setelah mengejar dan menaklukan Pucuk Umun, air pada sumur tersebut dijadikan
sebagai air minum sultan Hasanudin.
Itulah hikayat sumur tujuh yang
masih ada kaitannya dengan sultan Hasanudin ketika menaklukan Pucuk Umun, bagi
masyarakat muslim yang hendak mendaki gunung karang dengan tujuan akhir yaitu
puncak gunung karang yang terdapat sumur tujuh.
Melihat gunung karang yang
terbaring diam,tidak berlebihan jika kita menjulukinya sang raksasa yang tengah
tertidur tenang, dengan berbagai potensi yang terpendam dalam.bukan saja karena
potensi letusan berapi aktif,namun juga potensi wisata yang masih belum tergali
secara maksimal.Hal yang tepat apabila pemerintah setempat menggalakan promosi
gunung karang menjadi kawasan wisata bergengsi, sebab gunung ini memiliki ragam
objek kunjungan dengan membangun infrastruktur, sarana dan prasarana yang
memadai diharapkan untuk kedepannya wisata ini akan lebih dilirik lagi oleh
wisatawan lokal maupun non lokal.
SUMUR 7 |
JALAN MENUJU PUNCAK |
0 komentar
Post a Comment