Globalisasi membawa pengaruh
terhadap perilaku masyarakat. Perubahan gaya hidup terjadi karena mudahnya
unsur-unsur budaya suatu bangsa masuk ke negara lain. Arus informasi yang cepat
menyebar menjadi sarana utamanya.
Di era globalisasi ini, masyarakat juga mulai memperhitungkan segala sesuatu yang dilakukan dengan hasil yang didapat. Segala aktivitas diukur dengan uang. Ungkapan time is money atau waktu adalah uang menjadi dasar seseorang dalam beraktivitas.
Hal inilah yang kemudian menciptakan sifat individualisme. Banyak orang yang tidak lagi peduli dengan kondisi di sekitarnya. Masing-masing lebih mengutamakan kepentingan pribadinya. Kondisi tersebut terutama terjadi di kota-kota besar.
Globalisasi mendorong masuknya berbagai produk dari luar negeri. Akibatnya persediaan barang kebutuhan melimpah. Masyarakat memperoleh kemudahan untuk mencukupi berbagai macam kebutuhan, asalkan memiliki uang. Melimpahnya barang di pasar menyebabkan munculnya sifat konsumtif, yaitu perilaku konsumsi yang berlebihan.
Namun perlu diketahui bahwa tidak semua gaya hidup yang berasal dari negara luar membawa dampak negatif. Banyak budaya asing yang membawa dampak positif jika dikembangkan dengan baik dan benar.
Di antaranya kedisiplinan dan etos kerja yang tinggi. Masyarakat Barat lebih memiliki kedisiplinan dan etos kerja yang tinggi bila dibandingkan dengan masyarakat Melayu pada umumnya. Jika diterapkan dengan benar, budaya tersebut dapat meningkatkan produktivitas bangsa. Makin tinggi tingkat produktivitas bangsa makin cepat pula kemakmuran dapat diraih.
Hari ini adalah perjalanan saya yang ke tiga kalinya ke kampung baduy, entah mengapa saya selalu merindukan kedamaian dan ketentraman di tempat ini. Seolah kedamaian hinggap dihati iniBayangkan sebuah tempat yang damai, dikelilingi oleh suasana hijau. Suara angin yang gemerisik menerpa dedauanan bambu, kicau burung, dan deburan aliran sungai. Dengarkan bisik alam yang menyapa dalam kemurnian, Anda layak melihatnya dengan mata hati sehingga dibawalah oleh-oleh pengalaman yang melekat di hati. Ada banyak kearifan lokal yang akan di peroleh di Desa Kanekes, sebuah pelajaran yang sangat berarti mengingatkan kita pada jati diri leluhur salah satu suku tua di Nusantara yang masih hidup dengan cara tradisional.
Lupakan ponsel atau alat elektronik lainnya saat Anda mengunjungi Desa Kanekes atau yang lebih popular disebut Desa Baduy di Banten. Selain tidak ada listrik untuk men-charge hp Anda, bahkan sinyal pun sulit didapat. Lebih baik Anda menatap alam sekitar dan mendengarkan suara-suara alam. Di sinilah Anda akan dapati kehidupan masa lalu sebelum memasuki sebuah zaman dari akibat revolusi industri yang menguasai dunia
Desa Baduy, terletak di perbukitan Gunung Kendeng, sekitar 75 kilometer arah selatan
Rangkasbitung, Banten. Ini merupakan tempat yang tepat untuk Anda yang ingin merasakan ketenangan yang jarang ditemukan di kota besar. Bagi mereka yang memiliki naluri berpetualang mungkin akan merasakan trekking di desa Baduy sangat memukau. Kehidupan keseharian masyarakat Baduy yang memegang teguh adat istiadat merupakan daya tarik tersendiri bagi Anda yang berminat menelusuri budaya unik kearifan lokal yang luar biasa ini.
Kawasan Baduy tepatnya berada di desa Kanekes, kecamatan Leuwidamar, kabupaten Lebak. Diperkirakan akhir abad ke-18 wilayah Baduy ini terbentang mulai dari kecamatan Leuwidamar sekarang sampai ke Pantai Selatan. Sekarang luas wilayah Baduy ini sekitar 5102 hektar. Batas wilayah sekarang ini dibuat pada permulaan abad ke-20 bersamaan dengan pembukaan perkebunan karet di desa Leuwidamar dan sekitarnya.
Suku Baduy sering disebut urang Kanekes. Baduy sebetulnya bukanlah nama dari komunitas yang ada di desa ini. Nama tersebut menjadi melekat karena diberikan oleh peneliti Belanda yang menyamakan mereka dengan Badawi atau Bedoin Arab yang merupakan masyarakat nomaden atau berpindah-pindah. Dari Badawi atau Bedoin, kemudian nama itu pun bergeser menjadi Baduy. Orang Baduy, karena bermukim di Desa Kanekes, sebenarnya lebih tepat disebut sebagai Orang Kanekes. Namun karena istilah “Baduy” terlanjur lebih dulu dikenal, maka nama “Baduy” lebih populer ketimbang “Orang Kanekes”.
Mereka tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Desa ini berada sekitar 38 km dari ibu kota Kabupaten Lebak, Rangkasbitung, atau sekitar 120 km dari Jakarta. Desa Kanekes memiliki 56 kampung Baduy. Orang Baduy Dalam tinggal di Kampung Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo. Sedangkan orang Baduy Luar tinggal di 53 kampung lainnya. Kampung Baduy Luar sering disebut kampung panamping atau pendamping, yang berfungsi menjaga Baduy Dalam.
Di Baduy Dalam, pikukuh atau aturan adat adalah harga mati yang tidak bisa ditawar. Hal ini berbeda dengan Baduy Luar. Dalam hal makanan, orang Baduy tergolong sangat fanatik. Mereka tidak akan menyantap jenis makanan yang tidak dimakan nenek moyang mereka juga tidak akan melakukan kebiasaan yang dulunya tidak pernah dilakukan nenek moyang mereka. Kebiasaan mandi tidak menggunakan sabun masih berlangsung hingga saat ini. Tidak memakai sabun mandi bukan berarti mereka tidak punya uang, tetapi benar-benar demi mengikuti kebiasaan orang tua mereka. Kalau ada warga Baduy yang coba-coba memakai sabun saat mandi dan sampai ketahuan, pasti mendapat teguran keras. Teguran ini bisa berujung pada pemecatan sebagai warga Baduy Dalam.
Menurut kepercayaan orang Kanekes mereka keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Kepercayaan orang Baduy adalah penghormatan pada roh nenek moyang dan kepercayaan kepada satu kuasa yang dinamakan Nu Kawasa. Keyakinan mereka sering disebut dengan Sunda Wiwitan. Orientasi, konsep-konsep dan kegiatan-kegiatan keagamaan ditujukan kepada pikukuh (aturan adat) agar orang hidup menurut alur itu dan menyejahterakan kehidupan Baduy dan dunia. Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Buddha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari. Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apa pun", atau perubahan sesedikit mungkin.
Di kawasan Baduy Dalam, ada tiga kampung yang masing-masing dikepalai oleh seorang kepala suku atau yang disebut Puun dan wakilnya yang disebut Jaro. Ketiganya adalah kampung Cibeo, Cikesik, dan Cikertawana. Masing-masing Puun ini memiliki peran yang berbeda. Puun Cibeo mengurusi pertanian, Puun Cikesik mengurusi keagamaan, dan Puun Cikertawana bertanggungjawab dalam hal kesehatan atau obat-obatan. Tanggung jawab ini berlaku secara kolektif untuk ketiga kampung tersebut
Pakaian tradisional kebanyakan berwarna biru yang ditenun oleh wanita-wanita baduy, jadi Anda bisa membawa kain ini pulang sebagai oleh-oleh. Ada juga cendera mata yang menarik sebagai buah tangan untuk orang yang Anda sayangi.
Perjalanan ke desa GaJebo memakan waktu 1/2 jam perjalanan menaiki bukit serta turun bukit ini melewati setidak nya 3 desa baduy luar yaitu desa kadu keteg, desa balingbing, desa marenggo dengan jarak sekitar 4 km dari desa ciboleger. dan taraaa,, kami melihat jembatan bambu yang menjadi daya tarik kampung baduy
SALAM LESTARI
SALAM LESTARI
Di era globalisasi ini, masyarakat juga mulai memperhitungkan segala sesuatu yang dilakukan dengan hasil yang didapat. Segala aktivitas diukur dengan uang. Ungkapan time is money atau waktu adalah uang menjadi dasar seseorang dalam beraktivitas.
Hal inilah yang kemudian menciptakan sifat individualisme. Banyak orang yang tidak lagi peduli dengan kondisi di sekitarnya. Masing-masing lebih mengutamakan kepentingan pribadinya. Kondisi tersebut terutama terjadi di kota-kota besar.
Globalisasi mendorong masuknya berbagai produk dari luar negeri. Akibatnya persediaan barang kebutuhan melimpah. Masyarakat memperoleh kemudahan untuk mencukupi berbagai macam kebutuhan, asalkan memiliki uang. Melimpahnya barang di pasar menyebabkan munculnya sifat konsumtif, yaitu perilaku konsumsi yang berlebihan.
Namun perlu diketahui bahwa tidak semua gaya hidup yang berasal dari negara luar membawa dampak negatif. Banyak budaya asing yang membawa dampak positif jika dikembangkan dengan baik dan benar.
Di antaranya kedisiplinan dan etos kerja yang tinggi. Masyarakat Barat lebih memiliki kedisiplinan dan etos kerja yang tinggi bila dibandingkan dengan masyarakat Melayu pada umumnya. Jika diterapkan dengan benar, budaya tersebut dapat meningkatkan produktivitas bangsa. Makin tinggi tingkat produktivitas bangsa makin cepat pula kemakmuran dapat diraih.
Hari ini adalah perjalanan saya yang ke tiga kalinya ke kampung baduy, entah mengapa saya selalu merindukan kedamaian dan ketentraman di tempat ini. Seolah kedamaian hinggap dihati iniBayangkan sebuah tempat yang damai, dikelilingi oleh suasana hijau. Suara angin yang gemerisik menerpa dedauanan bambu, kicau burung, dan deburan aliran sungai. Dengarkan bisik alam yang menyapa dalam kemurnian, Anda layak melihatnya dengan mata hati sehingga dibawalah oleh-oleh pengalaman yang melekat di hati. Ada banyak kearifan lokal yang akan di peroleh di Desa Kanekes, sebuah pelajaran yang sangat berarti mengingatkan kita pada jati diri leluhur salah satu suku tua di Nusantara yang masih hidup dengan cara tradisional.
Lupakan ponsel atau alat elektronik lainnya saat Anda mengunjungi Desa Kanekes atau yang lebih popular disebut Desa Baduy di Banten. Selain tidak ada listrik untuk men-charge hp Anda, bahkan sinyal pun sulit didapat. Lebih baik Anda menatap alam sekitar dan mendengarkan suara-suara alam. Di sinilah Anda akan dapati kehidupan masa lalu sebelum memasuki sebuah zaman dari akibat revolusi industri yang menguasai dunia
Desa Baduy, terletak di perbukitan Gunung Kendeng, sekitar 75 kilometer arah selatan
Rangkasbitung, Banten. Ini merupakan tempat yang tepat untuk Anda yang ingin merasakan ketenangan yang jarang ditemukan di kota besar. Bagi mereka yang memiliki naluri berpetualang mungkin akan merasakan trekking di desa Baduy sangat memukau. Kehidupan keseharian masyarakat Baduy yang memegang teguh adat istiadat merupakan daya tarik tersendiri bagi Anda yang berminat menelusuri budaya unik kearifan lokal yang luar biasa ini.
Kawasan Baduy tepatnya berada di desa Kanekes, kecamatan Leuwidamar, kabupaten Lebak. Diperkirakan akhir abad ke-18 wilayah Baduy ini terbentang mulai dari kecamatan Leuwidamar sekarang sampai ke Pantai Selatan. Sekarang luas wilayah Baduy ini sekitar 5102 hektar. Batas wilayah sekarang ini dibuat pada permulaan abad ke-20 bersamaan dengan pembukaan perkebunan karet di desa Leuwidamar dan sekitarnya.
Suku Baduy sering disebut urang Kanekes. Baduy sebetulnya bukanlah nama dari komunitas yang ada di desa ini. Nama tersebut menjadi melekat karena diberikan oleh peneliti Belanda yang menyamakan mereka dengan Badawi atau Bedoin Arab yang merupakan masyarakat nomaden atau berpindah-pindah. Dari Badawi atau Bedoin, kemudian nama itu pun bergeser menjadi Baduy. Orang Baduy, karena bermukim di Desa Kanekes, sebenarnya lebih tepat disebut sebagai Orang Kanekes. Namun karena istilah “Baduy” terlanjur lebih dulu dikenal, maka nama “Baduy” lebih populer ketimbang “Orang Kanekes”.
Mereka tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Desa ini berada sekitar 38 km dari ibu kota Kabupaten Lebak, Rangkasbitung, atau sekitar 120 km dari Jakarta. Desa Kanekes memiliki 56 kampung Baduy. Orang Baduy Dalam tinggal di Kampung Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo. Sedangkan orang Baduy Luar tinggal di 53 kampung lainnya. Kampung Baduy Luar sering disebut kampung panamping atau pendamping, yang berfungsi menjaga Baduy Dalam.
Keseharian kaum
lelaki Baduy menggunakan ikat kepala putih. Kecuali puun atau pemimpin adat, para lelaki menggunakan baju
hitam dan sarung selutut berwarna biru tua bercorak kotak-kotak. Kaum perempuan
menggunakan sarung batik biru, kemben biru, baju luar putih berlengan panjang.
Gadis-gadis menggunakan gelang dan kalung dari manik.
Suku Baduy Dalam, mereka setia berjalan kaki dalam melakukan perjalanan, mengedepankan kejujuran, menolak mencemari lingkungan (tanah dan air), dan tidak merokok. Baduy Dalam menerapkan adat lebih ketat dibandingkan dengan Baduy Luar. Salah satu perbedaannya, warga Baduy Luar diperbolehkan berkendaraan. Baduy Dalam hidup dengan aturan adat yang ketat.
Suku Baduy Dalam, mereka setia berjalan kaki dalam melakukan perjalanan, mengedepankan kejujuran, menolak mencemari lingkungan (tanah dan air), dan tidak merokok. Baduy Dalam menerapkan adat lebih ketat dibandingkan dengan Baduy Luar. Salah satu perbedaannya, warga Baduy Luar diperbolehkan berkendaraan. Baduy Dalam hidup dengan aturan adat yang ketat.
Di Baduy Dalam, pikukuh atau aturan adat adalah harga mati yang tidak bisa ditawar. Hal ini berbeda dengan Baduy Luar. Dalam hal makanan, orang Baduy tergolong sangat fanatik. Mereka tidak akan menyantap jenis makanan yang tidak dimakan nenek moyang mereka juga tidak akan melakukan kebiasaan yang dulunya tidak pernah dilakukan nenek moyang mereka. Kebiasaan mandi tidak menggunakan sabun masih berlangsung hingga saat ini. Tidak memakai sabun mandi bukan berarti mereka tidak punya uang, tetapi benar-benar demi mengikuti kebiasaan orang tua mereka. Kalau ada warga Baduy yang coba-coba memakai sabun saat mandi dan sampai ketahuan, pasti mendapat teguran keras. Teguran ini bisa berujung pada pemecatan sebagai warga Baduy Dalam.
Menurut kepercayaan orang Kanekes mereka keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Kepercayaan orang Baduy adalah penghormatan pada roh nenek moyang dan kepercayaan kepada satu kuasa yang dinamakan Nu Kawasa. Keyakinan mereka sering disebut dengan Sunda Wiwitan. Orientasi, konsep-konsep dan kegiatan-kegiatan keagamaan ditujukan kepada pikukuh (aturan adat) agar orang hidup menurut alur itu dan menyejahterakan kehidupan Baduy dan dunia. Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Buddha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari. Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apa pun", atau perubahan sesedikit mungkin.
Di kawasan Baduy Dalam, ada tiga kampung yang masing-masing dikepalai oleh seorang kepala suku atau yang disebut Puun dan wakilnya yang disebut Jaro. Ketiganya adalah kampung Cibeo, Cikesik, dan Cikertawana. Masing-masing Puun ini memiliki peran yang berbeda. Puun Cibeo mengurusi pertanian, Puun Cikesik mengurusi keagamaan, dan Puun Cikertawana bertanggungjawab dalam hal kesehatan atau obat-obatan. Tanggung jawab ini berlaku secara kolektif untuk ketiga kampung tersebut
Pakaian tradisional kebanyakan berwarna biru yang ditenun oleh wanita-wanita baduy, jadi Anda bisa membawa kain ini pulang sebagai oleh-oleh. Ada juga cendera mata yang menarik sebagai buah tangan untuk orang yang Anda sayangi.
Perjalanan ke desa GaJebo memakan waktu 1/2 jam perjalanan menaiki bukit serta turun bukit ini melewati setidak nya 3 desa baduy luar yaitu desa kadu keteg, desa balingbing, desa marenggo dengan jarak sekitar 4 km dari desa ciboleger. dan taraaa,, kami melihat jembatan bambu yang menjadi daya tarik kampung baduy
bangunan yang disebut LEUIT,
yaitu tempat penyimpanan padi bagi Suku Baduy. Orang Baduy tidak
pernah menjual hasil tanaman padinya. Mereka menyebutnya pamali (bahasa
Sunda, yang artinya dilarang) untuk menjual padi-padi mereka. Lalu,
bagaimana jika kita tertarik untuk menikmati beras dari padi-padi ini? Minta
saja, kalau tersedia, pasti mereka memberi. Rasa nasinya, memang kurang
enak, agak keras, mungkin kurang terbiasa, berbeda dengan nasi yang biasa kita
makan. Ini disebabkan tanaman padi di sana, bukan berasal dari sawah yang
dialiri air. Melainkan dari ladang, yang disebut padi gogo, huma.
Dan perjalanan
kami dilanjutkan ke jembatan akar. Suku Baduy di Banten tidak hanya terkenal
dengan ajaran mereka, yang tidak mau terpengaruh dengan dunia luar. Ada banyak
hal yang bisa bikin traveler terkaget-kaget saat mengunjungi desa-desa suku
Baduy. Seperti, melihat jembatan akar yang unik
Jembatan akar menghubungkan suku Baduy dengan 'dunia luar'. Jembatan ini
terbuat dari ikatan akar dan bambu yang begitu kokoh. Serta, tanpa menggunakan
paku atau alat bangunan lainnya sama sekali. Namun sebelum itu, siap-siap
melewati medan perjalanan yang menantang ya! jarak nya sekitar 8 km dari desa ciboleger. Kami mengunakan motor pribadi,jalanan rusak serta banyak lubang dan kami melewati 2 desa baduy luar. Yaitu
desa grendeng serta desa batara. Di desa Batara ini lah jembatan akar berdiri
dengan elok nya.
Jembatan ini berawal dari hanya pohon bambu diatas kali sebagai lalu lintas warga mengunjungi ladang dan perkampungan mereka. Tetapi seiring berjalanan nya waktu maka bambu2 ini di jalarin akar2 pohon yg rimbun. Menurut cerita proses nya penjalaran akar ini sekitar 50-70 tahun. Banyak banget wisatawan yg kurang tau ttg jembatan akar ini di karenakan jembatan ini tidak termasuk lintasan menuju baduy dalam. Kebanyakan mereka terfokus untuk masuk ke baduy dalam yaitu desa cikesik dan berputar searah jarum jam kembali ke desa ciboleger. ! Dan dalam perjalanan Alhamdulillah kami diberi rezeki durian baduy yang lezat,bias mengganjal perut kami yang lapar.
Dan subhanallah
kami akhirnya bias melihat ciptaan Allah yang sangat indah ini, tapi sekarang
tatanan akar dijembatan ini tidak seperti dulu. Jembatan yang sudah mulai rusak
mungkin karena banyak traveller yang mengunjungi. Jadi tatanannya sudah
berubah, untuk melepas lelah dan penat akhirnya tanpa fikir panjang akhirnya
kami menjeburkan diri di sungai yang sangat jernih tepat dibawah jembatan Jembatan ini berawal dari hanya pohon bambu diatas kali sebagai lalu lintas warga mengunjungi ladang dan perkampungan mereka. Tetapi seiring berjalanan nya waktu maka bambu2 ini di jalarin akar2 pohon yg rimbun. Menurut cerita proses nya penjalaran akar ini sekitar 50-70 tahun. Banyak banget wisatawan yg kurang tau ttg jembatan akar ini di karenakan jembatan ini tidak termasuk lintasan menuju baduy dalam. Kebanyakan mereka terfokus untuk masuk ke baduy dalam yaitu desa cikesik dan berputar searah jarum jam kembali ke desa ciboleger. ! Dan dalam perjalanan Alhamdulillah kami diberi rezeki durian baduy yang lezat,bias mengganjal perut kami yang lapar.
SALAM LESTARI
DIYAN JOBERT https://www.facebook.com/profile.php?id=100009402317038&fref=ts |
BAMBANG https://www.facebook.com/bend.sasori?fref=ts |
NONI https://www.facebook.com/profile.php?id=100009297503283&fref=ts |
ANGLA https://www.facebook.com/Angla.ramadhan?fref=ts |
MAYA https://www.facebook.com/othayhaa.thathafemoy?fref=ts |
IYAR https://www.facebook.com/neenkiyar.putritunggal?fref=ts |
SUGENG https://www.facebook.com/soegeng.mihardjo?fref=ts |
ISAK https://www.facebook.com/cakbrc?fref=ts |
SALAM LESTARI
0 komentar
Post a Comment