Powered by Blogger.

Translate

Flag Counter

Blogroll

BEDOUINS OF BANTEN-INDONESIA(SUKU BADUY)

Bedouins / Bedouin is a sub-group of indigenous peoples in Indonesia Sundanese, and they are one of the groups that implement isolation from the outside world.

MT. PULOSARI OF PANDEGLANG-INDONESIA

volcano in Pandeglang, Banten, Indonesia. Although no data eruptions that have occurred, but there is fumaroles activity that occurs in the caldera wall with a depth of 300 meters.A height of 1.346 meters (4.416 feet).

SHARK TEETH BEACH OF LAMPUNG - INDONESI

Taper-shaped cluster of rocks scattered among the waves. The shape resembles a shark's teeth are pointy so called Shark Tooth Beach.This beach is a hidden paradise for its beauty sneak in isolated locations and not many visitors.

KARANGANTU COASTAL FISHING PORT BANTEN - INDONESIA

Karangantu port is the second largest port after port of Sunda Kelapa in Jayakarta said Tom Pires, a merchant who also pharmacists from Portugal.It is recorded in the book "Understanding of Historical and Archeological City of Banten Lama" by Uka Tjandrasasmita, Hasan M Ambary, and Hawany Michrob..

MY ADVENTURE

Curabitur et lectus vitae purus tincidunt laoreet sit amet ac ipsum. Proin tincidunt mattis nisi a scelerisque. Aliquam placerat dapibus eros non ullamcorper. Integer interdum ullamcorper venenatis. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas.

Search This Blog

Monday, 24 August 2015

GUNUNG PRAU DIENG - WONOSOBO JAWA TENGAH (2.565 MDPL)

Gunung Prau merupakan tapal batas antara tiga kabupaten yaitu Kabupaten Batang, Kabupaten Kendal dan Kabupaten Wonosobo. Puncak Gunung Prau merupakan padang rumput luas yang memanjang dari barat ke timur. Bukit-bukit kecil dan sabana dengan sedikit pepohonan dapat kita jumpai di puncak. Gunung Prau merupakan puncak tertinggi di kawasan Dataran Tinggi Dieng, dengan beberapa puncak yang lebih rendah di sekitarnya, antara lain Gunung Sipandu, Gunung Pangamun-amun, dan Gunung Juranggrawah.
Setidaknya ada tiga jalur yang dapat digunakan untuk mendaki Gunung Prau, yaitu:
  • Jalur Pranten, Kecamatan Bawang, Kabupaten Batang
  • Jalur Patak Banteng, Wonosobo
  • Jalur Kenjuran, Kendal.
Ribuan pendaki dari berbagai daerah di Indonesia memenuhi Gunung Prau, Wonosobo, Jawa Tengah dalam rangka liburan terkait Hari Kemerdekaan Republik Indonesia
Berbeda dengan gunung-gunung pada umumnya, pendakian gunung Prau via Patak Banteng ini mempunyai jalur pendakian yang relatif dekat dan kondisi jalurnya yang jelas. Jadi masih bisa didaki dengan sistem tik-tok, artinya pendakian tanpa mendirikan tenda atau pendakian yang sesampainya di puncak langsung turun.

Sistem pendakian ini dinilai cukup efesien, karena tidak membutuhkan waktu yang berhari-hari, tidak membutuhkan peralatan dan logistik yang banyak ,juga dapat menghemat energi karena kita tidak dibebani carriel yang besar dan berat. Dan juga jalur pendakian gunung Prau ini tidak terdapat sumber mata air sama sekali, jika ingin mendirikan tenda di puncak kita harus membawa persediaan air sepenuhnya dari bawah,

Untuk melakukan pendakian gunung Prau ini kita terlebih dahulu harus menuju desa Patak Banteng.Jika dari Wonosobo menuju Dieng dan berhenti di balai desa Patak Banteng, sekitar 3km sebelum Dieng. Atau dari arah sebaliknya. Setelah mengurus perijinan dan membeli Tiket pendakian  kita siap berangkat menuju jalur pendakian, melewati jalan desa menuju ladang penduduk. Berjalan sekitar 15 menit melewati trek tangga kita akan melewati jalan berbatu yang sudah tertata rapi namun dengan trek yang agak menanjak. Sekitar 20 menit berjalan melewati jalan batu kita akan sampai di pos 1, walau pada malam hari disini ada beberapa penjaga untuk mendata kembali para pendaki untuk mengecek tiket yang sudah dibeli.
Perjalanan dilanjutkan terus menanjak melewati hutan pinus yang tidak terlalu rapat. Sekitar 30 menit kita akan sampai di pos 3 Cacingan

Dari pos 3 perjalanan dilanjut dengan melewati trek yang cukup curam, hingga di beberapa titik dipasang tali untuk berpegangan.
Dari pos 3 menuju puncak dibutuhkan waktu kurang lebih 35 menit.
Jadi total waktu yang dibutuhkan untuk mendaki gunung Prau ini kurang lebih 2,5 jam.

.
Jalur pendakian Gunung Prau yang paling terkenal adalahh lewat jalur “Patak Banteng”. Karena gunung Prau dikenal dengan jalur pendakian yang pendek dan relatif mudah maka gunung Prau cocok sekali untuk dijadikan destinasi bagi para pendaki pemula. Kamu nggak akan menyesal jika mendaki gunung Prau.  Sepanjang trek perjalanan sampai kita akan berjumpa dengan pemandangan yang sangat indah dan tidak ada duanya. Kita bisa melihat pemandangan dataran tinggi Dieng dan Telaga Warna dari jauh. 


Kita juga akan berjumpa dengan perkebunan, hutan, padang bunga Daisy. Sampai puncak gunung Prau kita akan disambut oleh Bukit Teletubies dan jika pagi tiba kita akan dihadiahi “Golden Sunrise” gunung Prau. Golden sunrise gunung Prau inilah yang diklaim paling bagus se-asia tenggara. Dari situ kita bisa melihat pucuk banyak gunung di pulau Jawa seperti gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, Sindoro, Slamet
Gunung Prau memiliki ketinggian 2.565 mdpl. Ketinggian yang cukup-lah jika dibandingkan dengan gunung berapi namun jalur pendakiannya pendek dan waktu perjalanan juga singkat. Hal tersebut dikarenakan titik memulai pendakian kita sudah berada pada ketinggian 1.700 mdpl..

Dataran tinggi Dieng terkenal dengan suhu dingin yang menusuk tulang oleh sebab itu persiapkan segalanya terlebih dahulu sebelum berangkat menuju sana. Yang terpenting jaket yang hangat, dan perlengkapan lain tentunya. Untuk mendaki gunung Prau biasanya ada dua pilihan planningnya yakni sekali jalan atau bermalam di puncak. 


---SALAM LESTARI--

DIAN NOVIANTI
https://www.facebook.com/dian.novianti.9469?fref=ts
SANDY MOHARA
https://www.facebook.com/sandi.moharaputra?fref=ts

KRESNANTO H
https://www.facebook.com/LPloverz?fref=ts
NURUL
RAMA





FITRI
INDAH SETYAWATI
https://www.facebook.com/indah.setyawati.180?fref=ts

HENRY





ABDUL ROHMAN
https://www.facebook.com/abdul.rochman3?fref=ts

ALI
https://www.facebook.com/alibashar.alayyubi?fref=ts

DANI
https://www.facebook.com/dtroublelove?pnref=story

HANIFFAH KHAIRUNISA
https://www.facebook.com/profile.php?id=100005479275242&fref=ts


DIYAN JOBERT
https://www.facebook.com/profile.php?id=100009402317038&fref=ts


FILDZA
https://www.facebook.com/fildza.yurika.1?fref=ts
IKHMANSYAH
https://www.facebook.com/ikhman.syah.7?fref=ts

YUSUF IRAWAN
https://www.facebook.com/ucup.n.betawi?fref=ts


KOJIRO
NONI WIDAYANTI
https://www.facebook.com/profile.php?id=100009297503283&fref=ts















































Thursday, 13 August 2015

KAMPUNG BADUY SEASON 3

Globalisasi membawa pengaruh terhadap perilaku masyarakat. Perubahan gaya hidup terjadi karena mudahnya unsur-unsur budaya suatu bangsa masuk ke negara lain. Arus informasi yang cepat menyebar menjadi sarana utamanya.

Di era globalisasi ini, masyarakat juga mulai memperhitungkan segala sesuatu yang dilakukan dengan hasil yang didapat. Segala aktivitas diukur dengan uang. Ungkapan time is money atau waktu adalah uang menjadi dasar seseorang dalam beraktivitas.


Hal inilah yang kemudian menciptakan sifat individualisme. Banyak orang yang tidak lagi peduli dengan kondisi di sekitarnya. Masing-masing lebih mengutamakan kepentingan pribadinya. Kondisi tersebut terutama terjadi di kota-kota besar.

Globalisasi mendorong masuknya berbagai produk dari luar negeri. Akibatnya persediaan barang kebutuhan melimpah. Masyarakat memperoleh kemudahan untuk mencukupi berbagai macam kebutuhan, asalkan memiliki uang. Melimpahnya barang di pasar menyebabkan munculnya sifat konsumtif, yaitu perilaku konsumsi yang berlebihan.

Namun perlu diketahui bahwa tidak semua gaya hidup yang berasal dari negara luar membawa dampak negatif. Banyak budaya asing yang membawa dampak positif jika dikembangkan dengan baik dan benar.

Di antaranya kedisiplinan dan etos kerja yang tinggi. Masyarakat Barat lebih memiliki kedisiplinan dan etos kerja yang tinggi bila dibandingkan dengan masyarakat Melayu pada umumnya. Jika diterapkan dengan benar, budaya tersebut dapat meningkatkan produktivitas bangsa. Makin tinggi tingkat produktivitas bangsa makin cepat pula kemakmuran dapat diraih.




Hari ini adalah perjalanan saya yang ke tiga kalinya ke kampung baduy, entah mengapa saya selalu merindukan kedamaian dan ketentraman di  tempat ini. Seolah kedamaian hinggap dihati iniBayangkan sebuah tempat yang damai, dikelilingi oleh suasana hijau. Suara angin yang gemerisik menerpa dedauanan bambu, kicau burung, dan deburan aliran sungai. Dengarkan bisik alam yang menyapa dalam kemurnian, Anda layak melihatnya dengan mata hati sehingga dibawalah oleh-oleh pengalaman yang melekat di hati. Ada banyak kearifan lokal yang akan di peroleh di Desa Kanekes, sebuah pelajaran yang sangat berarti mengingatkan kita pada jati diri leluhur salah satu suku tua di Nusantara yang masih hidup dengan cara tradisional.







Lupakan ponsel atau alat elektronik lainnya saat Anda mengunjungi Desa Kanekes atau yang lebih popular disebut Desa Baduy di Banten. Selain tidak ada listrik untuk men-charge hp Anda, bahkan sinyal pun sulit didapat. Lebih baik Anda menatap alam sekitar dan mendengarkan suara-suara alam. Di sinilah Anda akan dapati kehidupan masa lalu sebelum memasuki sebuah zaman dari akibat revolusi industri yang menguasai dunia 


Desa Baduy, terletak di perbukitan Gunung Kendeng, sekitar 75 kilometer arah selatan
  Rangkasbitung, Banten. Ini merupakan tempat yang tepat untuk Anda yang ingin merasakan ketenangan yang jarang ditemukan di kota besar. Bagi mereka yang memiliki naluri berpetualang mungkin akan merasakan trekking di desa Baduy sangat memukau. Kehidupan keseharian masyarakat Baduy yang memegang teguh adat istiadat merupakan daya tarik tersendiri bagi Anda yang berminat menelusuri budaya unik kearifan lokal yang luar biasa ini.
Kawasan Baduy  tepatnya berada di desa Kanekes, kecamatan Leuwidamar, kabupaten Lebak. Diperkirakan akhir abad ke-18 wilayah Baduy ini terbentang mulai dari kecamatan Leuwidamar sekarang sampai ke Pantai Selatan. Sekarang luas wilayah Baduy ini sekitar 5102 hektar. Batas wilayah sekarang ini dibuat pada permulaan abad ke-20 bersamaan dengan pembukaan perkebunan karet di desa Leuwidamar dan sekitarnya.

Suku Baduy sering disebut urang Kanekes. Baduy sebetulnya bukanlah nama dari komunitas yang ada di desa ini. Nama tersebut menjadi melekat karena diberikan oleh peneliti Belanda yang menyamakan mereka dengan Badawi atau Bedoin Arab yang merupakan masyarakat nomaden atau berpindah-pindah. Dari Badawi atau Bedoin, kemudian nama itu pun bergeser menjadi Baduy. Orang Baduy, karena bermukim di Desa Kanekes, sebenarnya lebih tepat disebut sebagai Orang Kanekes. Namun karena istilah “Baduy” terlanjur lebih dulu dikenal, maka nama “Baduy” lebih populer ketimbang “Orang Kanekes”.


Mereka tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Desa ini berada sekitar 38 km dari ibu kota Kabupaten Lebak, Rangkasbitung, atau sekitar 120 km dari Jakarta. Desa Kanekes memiliki 56 kampung Baduy. Orang Baduy Dalam tinggal di Kampung Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo. Sedangkan orang Baduy Luar tinggal di 53 kampung lainnya. Kampung Baduy Luar sering disebut kampung panamping atau pendamping, yang berfungsi menjaga Baduy Dalam.

Keseharian kaum lelaki Baduy menggunakan ikat kepala putih. Kecuali puun atau pemimpin adat, para lelaki menggunakan baju hitam dan sarung selutut berwarna biru tua bercorak kotak-kotak. Kaum perempuan menggunakan sarung batik biru, kemben biru, baju luar putih berlengan panjang. Gadis-gadis menggunakan gelang dan kalung dari manik.

Suku Baduy Dalam, mereka setia berjalan kaki dalam melakukan perjalanan, mengedepankan kejujuran, menolak mencemari lingkungan (tanah dan air), dan tidak merokok. Baduy Dalam menerapkan adat lebih ketat dibandingkan dengan Baduy Luar. Salah satu perbedaannya, warga Baduy Luar diperbolehkan berkendaraan. Baduy Dalam hidup dengan aturan adat yang ketat.




Di Baduy Dalam, pikukuh atau aturan adat adalah harga mati yang tidak bisa ditawar. Hal ini berbeda dengan Baduy Luar. Dalam hal makanan, orang Baduy tergolong sangat fanatik. Mereka tidak akan menyantap jenis makanan yang tidak dimakan nenek moyang mereka juga tidak akan melakukan kebiasaan yang dulunya tidak pernah dilakukan nenek moyang mereka. Kebiasaan mandi tidak menggunakan sabun masih berlangsung hingga saat ini. Tidak memakai sabun mandi bukan berarti mereka tidak punya uang, tetapi benar-benar demi mengikuti kebiasaan orang tua mereka. Kalau ada warga Baduy yang coba-coba memakai sabun saat mandi dan sampai ketahuan, pasti mendapat teguran keras. Teguran ini bisa berujung pada pemecatan sebagai warga Baduy Dalam.

Menurut kepercayaan orang Kanekes mereka keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.

Kepercayaan orang Baduy adalah penghormatan pada roh nenek moyang dan kepercayaan kepada satu kuasa yang dinamakan Nu Kawasa. Keyakinan mereka sering disebut dengan Sunda Wiwitan. Orientasi, konsep-konsep dan kegiatan-kegiatan keagamaan ditujukan kepada pikukuh (aturan adat) agar orang hidup menurut alur itu dan menyejahterakan kehidupan Baduy dan dunia. Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Buddha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari. Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apa pun", atau perubahan sesedikit mungkin.

Di kawasan Baduy Dalam, ada tiga kampung yang masing-masing dikepalai oleh seorang kepala suku atau yang disebut Puun dan wakilnya yang disebut Jaro. Ketiganya adalah kampung Cibeo, Cikesik, dan Cikertawana. Masing-masing Puun ini memiliki peran yang berbeda. Puun Cibeo mengurusi pertanian, Puun Cikesik mengurusi keagamaan, dan Puun Cikertawana bertanggungjawab dalam hal kesehatan atau obat-obatan. Tanggung jawab ini berlaku secara kolektif untuk ketiga kampung tersebut


Pakaian tradisional kebanyakan berwarna biru yang ditenun oleh wanita-wanita baduy, jadi Anda bisa membawa kain ini pulang sebagai oleh-oleh. Ada juga cendera mata yang menarik sebagai buah tangan untuk orang yang Anda sayangi.


Perjalanan ke desa GaJebo memakan waktu 1/2 jam perjalanan menaiki bukit serta turun bukit ini melewati setidak nya 3 desa baduy luar yaitu desa kadu keteg, desa balingbing, desa marenggo dengan jarak sekitar 4 km dari desa ciboleger. dan taraaa,, kami melihat jembatan bambu yang menjadi daya tarik kampung baduy





bangunan yang disebut LEUIT, yaitu  tempat penyimpanan padi bagi  Suku Baduy. Orang Baduy tidak pernah menjual hasil tanaman padinya.  Mereka menyebutnya pamali (bahasa Sunda, yang artinya dilarang) untuk menjual padi-padi  mereka.  Lalu, bagaimana jika kita tertarik untuk menikmati beras dari padi-padi ini? Minta saja, kalau tersedia, pasti mereka memberi.  Rasa nasinya, memang kurang enak, agak keras, mungkin kurang terbiasa, berbeda dengan nasi yang biasa kita makan. Ini disebabkan tanaman padi di sana, bukan berasal dari sawah yang dialiri air. Melainkan dari ladang, yang disebut padi gogo, huma.


Dan perjalanan kami dilanjutkan ke jembatan akar. Suku Baduy di Banten tidak hanya terkenal dengan ajaran mereka, yang tidak mau terpengaruh dengan dunia luar. Ada banyak hal yang bisa bikin traveler terkaget-kaget saat mengunjungi desa-desa suku Baduy. Seperti, melihat jembatan akar yang unik

 Jembatan akar menghubungkan suku Baduy dengan 'dunia luar'. Jembatan ini terbuat dari ikatan akar dan bambu yang begitu kokoh. Serta, tanpa menggunakan paku atau alat bangunan lainnya sama sekali. Namun sebelum itu, siap-siap melewati medan perjalanan yang menantang ya! jarak nya sekitar 8 km dari desa ciboleger. Kami mengunakan motor pribadi,jalanan rusak serta banyak lubang  dan kami melewati 2 desa baduy luar. Yaitu desa grendeng serta desa batara. Di desa Batara ini lah jembatan akar berdiri dengan elok nya. 

Jembatan ini berawal dari hanya pohon bambu diatas kali sebagai lalu lintas warga mengunjungi ladang dan perkampungan mereka. Tetapi seiring berjalanan nya waktu maka bambu2 ini di jalarin akar2 pohon yg rimbun. Menurut cerita proses nya penjalaran akar ini sekitar 50-70 tahun. Banyak banget wisatawan yg kurang tau ttg jembatan akar ini di karenakan jembatan ini tidak termasuk lintasan menuju baduy dalam. Kebanyakan mereka terfokus untuk masuk ke baduy dalam yaitu desa cikesik dan berputar searah jarum jam kembali ke desa ciboleger. ! Dan dalam perjalanan Alhamdulillah kami diberi rezeki durian baduy yang lezat,bias mengganjal perut kami yang lapar.
Dan subhanallah kami akhirnya bias melihat ciptaan Allah yang sangat indah ini, tapi sekarang tatanan akar dijembatan ini tidak seperti dulu. Jembatan yang sudah mulai rusak mungkin karena banyak traveller yang mengunjungi. Jadi tatanannya sudah berubah, untuk melepas lelah dan penat akhirnya tanpa fikir panjang akhirnya kami menjeburkan diri di sungai yang sangat jernih tepat dibawah jembatan 
 





















SALAM LESTARI 
DIYAN JOBERT
https://www.facebook.com/profile.php?id=100009402317038&fref=ts





BAMBANG
https://www.facebook.com/bend.sasori?fref=ts

NONI
https://www.facebook.com/profile.php?id=100009297503283&fref=ts

ANGLA
https://www.facebook.com/Angla.ramadhan?fref=ts








MAYA
https://www.facebook.com/othayhaa.thathafemoy?fref=ts








IYAR
https://www.facebook.com/neenkiyar.putritunggal?fref=ts








SUGENG
https://www.facebook.com/soegeng.mihardjo?fref=ts
ISAK
https://www.facebook.com/cakbrc?fref=ts

SALAM LESTARI